HUKUM & KRIMINAL

Mencari Keadilan Akbar Idris

Oleh: Muh Abe Yanlua, Pegiat Konstitusi dan Hukum

AMBON, KM– Muh Abe Yanlua, salah satu pegiat konstitusi dan hukum angkat bicara terkait kasus dugaan pencemaran nama baik. Dalam negara hukum dan demokratis. berlaku satu postulat “Salus Populis Suprema Lex Esto” Keselamatan dan kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi.

Postulat tersebut berposisi sebagai pemangku kedaulatan rakyat sehubungan dengan kasus perkara pidana NOMOR : 184/ Pid.B/2023/PN.Blk, yang melibatkan eks wasekjen PB HMI Akbar Idris.

Muh Abe menilai ada kekaburan dalam isi dakwaan (obscuur libel) hingga sampai pada vonis putusan Akbar Idris 1 tahun 6 bulan terkesan dipaksakan. Sebab, dalam menyusun suatu argumentasi hukum haruslah didasarkan pada argumentasi hukum yang jelas dan logis.

Menurutnya, jika merujuk pada satu postulat “Primo executienda est verbis vis, ne sermonis vitio obstruatur oratio, sive lex sine argumentis”, yang berarti perkataanmu adalah hal yang pertama diperiksa untuk mencegah adanya kesalahan pengertian atau kekeliruan dalam menemukan hukum.

Dalam menyusun argumentasi hukum hal terpenting adalah penguasaan terhadap hukum itu sendiri. “In casu a quo” dalam kaitannya dengan pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Terdapat empat penilaian argumentasi hukum yang peling mendasar:

Pertama: Pasal yang disangkakan seharusnya tidak memenuhi unsur. Sebab, “Saudara Akbar Idris sebagaimana dalam fakta persidangan. tidak bermaksud mencederai martabat, kehormatan (dignity) dan nama baik dari saudara A. Muchtar Ali Yusuf” katanya

Mengingat, Akbar Idris hanya mendistribusikan data temuan DPP GMI terkait dugaan tindak pidana korupsi Bupati Bulukumba dan lebih mengara kepada kinerja bupati bukan Personifikasi A. Muchtar Ali Yusuf. Ucapnya lagi

Kedua: Diyakini, dengan menggunakan interpretasi komparatif (perbandingan) kata penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. haruslah merujuk pada ketentuan Pasal 310 KUHPidana berdasarkan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/ PUUVI/2008. dengan syarat berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XXI/2023.

Selain itu, Pencemaran nama baik haruslah dimaknai dengan cara lisan. Sehingga data DPP GMI sebagaimana ditransmisikan, didistribusikan, dan atau dibuat dapat diaksesnya sehingga haruslah memuat kata penghinaan berupa cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas. Jelasnya

Ketiga: Jika keterangan data DPP GMI yang didistribusikan saudara Akbar sebagai tuduhan pencemaran nama baik (defamation). Maka, kebenaran data tersebut haruslah dibuktikan terlebih dahulu dalam rangka mencari kebenaran materiil.

Mengingat dalam perkara pidana berlaku asas “In Criminalibus, probationes debent esse luce clariores” yang berarti, dalam perkara hukum, bukti-bukti harus lebih terang dari cahaya”

“Hal ini akan sangat merugikan saudara Akbar Idris, jika dikemudian hari Bupati bulukumba terbukti melakukan tindak pidana korupsi” tambahnya

keempat: Pasal yang dikenakan dalam perka “a quo” merupakan pasal yang problematic. Sering kali pasal ini sengaja digunakan justru untuk menghambat dan mengkriminalisasi para pihak-pihak yang kritis. terutama pada para aktivis yang concen dalam isu-isu hak asasi manusia (HAM), pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). yang seringkali melibatkan pejabat negara maupun kebijakan pemerintah

Berdasarkan argumentasi hukum yang mempuni dan logis sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. “Maka sudara Akbar Idris haruslah divonis bebas. berdasarkan, prinsip keadilan, dan prinsip-prinsip hukum pembuktian. dan juga untuk menjaga semangat demokrasi” pungkasnya (KM01)

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Populer

To Top