Oleh ;
D. Agung Nugroho, (Advokat PERADI dan Alumni Magister Hukum Universitas Indonesia)
TULISAN ini dibuat hanya untuk mengingatkan kembali tentang pentingnya pengetahuan dalam aturan ketenagakerjaan, terkhusus Outsourcing.
Sederhanya, Outsourcing adalah penggunaan sumber daya terampil dari luar perusahaan untuk melakukan pekerjaan yang sebelumnya dikerjakan oleh staf intern/ Organik.
Berdasarkan Pasal 1601 KHU Perdata yang mengatur tentang hubungan ketenagakerjaan. Mengartikan outsourcing (alih daya) sebagai pemborongan kerja, yaitu adanya suatu perjanjian tertulis antara pemborong (pengguna jasa) dengan Vendor (penyedia jasa), dimana pihak pemborong (pengguna jasa) menghendaki sesuatu hasil pekerjaan yang disanggupi oleh pihak Vendor (penyedia jasa), atas pembayaran suatu uang tertentu sebagai harga pemborongan.
Pekerja Outsourching merupakan Pekerja yang direkrut melalui Vendor (penyedia jasa), dalam hal ini sebagai pihak ketiga yang memperatarai, mengelola, mencari, dan membina karyawan Outsourching untuk disalurkan ke Perusahaan pemborong (pengguna jasa)
Batasan kegiatan kerja yang dilakukan oleh pekerja outsourcing tertera dalam Pasal 66 Ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, di mana pekerja atau buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Outsourcing pada dasarnya adalah sebuah konsep yang dapat memberikan manfaat besar bagi perusahaan yang menggunakannya, seperti efisiensi biaya dan akses ke sumber daya yang lebih luas. Namun, masalah timbul ketika praktik outsourcing mengalami penyalahgunaan. Banyak perusahaan di masa sekarang yang mengambil jalan pintas memanfaatkan outsourcing untuk memangkas biaya operasional, namun dalam prosesnya, sering kali mengabaikan aspek pemenuhan hak-hak pekerja yang etis. Hal ini terutama terlihat dalam praktik penggajian pekerja kontrak dengan upah yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan karyawan tetap yang melakukan pekerjaan yang serupa.
Dampaknya adalah ketidaksetaraan dalam hal pendapatan dan perlakuan, yang menciptakan kesenjangan sosial yang semakin membesar di masyarakat. Penyalahgunaan ini dalam beberapa kasus juga dapat menghilangkan jaminan pekerjaan, menciptakan ketidakpastian dalam karir pekerja, dan seringkali mengakibatkan pemutusan hubungan kerja yang tidak adil.
Penyalahgunaan outsourcing dapat berdampak negatif pada kualitas produk dan layanan yang ditawarkan oleh perusahaan. Ketika perusahaan lebih fokus pada memotong biaya dengan menggunakan tenaga kerja murah, seringkali hal ini mengorbankan kualitas dan keandalan produk atau layanan yang mereka tawarkan. Akibatnya, konsumen atau pengguna menjadi korban dengan menerima produk atau layanan yang kurang memuaskan, sementara perusahaan mungkin mencapai keuntungan sementara. Dalam jangka panjang, praktik penyalahgunaan outsourcing ini dapat merusak reputasi perusahaan dan mengurangi kepercayaan konsumen.
Berakhirnya Hubungan Kerja Bagi Pekerja Outsourcing
Hubungan kerja berakhir apabila perjanjian kerja baik pekerja outsourcing berakhir dengan alasan-alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 81 angka 16 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 61 UU Ketenagakerjaan:
Perjanjian kerja berakhir apabila:
pekerja/buruh meninggal dunia;
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
selesainya suatu pekerjaan tertentu;
adanya putusan pengadilan dan/atau putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Hak Pekerja Outsourcing yang Berakhir Hubungan Kerjanya
Perlu dipahami, pengusaha wajib memberikan uang kompensasi ke pekerja Outsourcing yang berakhir hubungan kerjanya karena:
telah berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
telah selesainya pekerjaan tertentu; atau
Diputus hubungan kerjanya sebelum masa kontrak berakhir. Uang kompensasi tersebut diberikan kepada pekerja sesuai dengan masa kerjanya di perusahaan yang bersangkutan.
Selain kompensasi, pekerja PKWT juga berhak menerima ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT.
Sedangkan apabila hubungan kerja pekerja outsourcing yang didasarkan PKWTT diputus, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian hak (UPH). Namun, hak-hak yang diterima besarannya berbeda-beda tergantung alasan berakhirnya hubungan kerja.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa praktik outsourcing memiliki dampak positif dalam efisiensi biaya dan akses ke sumber daya yang lebih luas bagi perusahaan. Namun, penyalahgunaan praktik outsourcing dapat menimbulkan berbagai masalah, terutama terkait dengan hak-hak pekerja dan kualitas produk atau layanan yang ditawarkan.
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.