Oleh : Risno Ibrahim (Anak Muda Maluku)
AMBON,KM– Beberapa kali mahasiswa berdiri di depan kantor gubernur, mengangkat poster yang memuat tuntutan terhadap kebijakan yang mereka anggap merugikan. Mereka tidak membawa senjata, hanya suara yang penuh harapan dan tekad. Namun, beberapa saat setelah demonstrasi dimulai, suasana berubah mencekam. Polisi yang sudah disiagakan, bersama aparat keamanan, mulai mendekat.
Tanpa ampun, mereka mengerahkan kekuatan untuk membubarkan massa. Salah seorang mahasiswa diterjang dan dipukuli di depan teman-temannya. Sementara di lain cerita seorang aktivis tiba-tiba menghilang, diduga diculik setelah menggelar aksi. Ini bukan hanya sebuah insiden biasa, melainkan serangan terhadap hak dasar mereka sebagai warga negara yang hanya ingin didengar.
Ketakutan merambat, dan meski protes berakhir, pertanyaan besar tetap menggelayut, jika suara rakyat dibungkam dengan kekerasan, apakah demokrasi kita masih hidup?
Skenario ini, yang terjadi di bawah pemerintahan Murad Ismail di Maluku, menggambarkan sebuah realitas suram di mana kebebasan berpendapat dihancurkan oleh kekuasaan yang represif. Sebuah peringatan bagi kita semua, jika kita membiarkan suara-suara yang menuntut keadilan dibungkam, maka kita bukan hanya kehilangan hak untuk berbicara, tetapi juga hak untuk hidup dalam sebuah negara yang demokratis.
Kebebasan berpendapat dan hak untuk menyuarakan aspirasi adalah hak dasar setiap warga negara yang seharusnya dijamin oleh pemerintah. Di negara demokrasi, protes rakyat adalah suara yang sah untuk menuntut keadilan dan meminta pertanggungjawaban. Namun, bagaimana jadinya jika pemimpin daerah tak hanya menutup telinga, tetapi juga menutup mulut rakyatnya dengan cengkeraman keras aparat?
Di Maluku, Mantan Gubernur Murad Ismail menunjukkan wajah kepemimpinan yang “berbahaya” sebuah rezim represif yang membungkam rakyat dengan kekuatan dan intimidasi.
Sejak awal masa jabatannya, Murad telah memicu serangkaian kontroversi yang merobek prinsip-prinsip demokrasi. Melalui tindakan represif terhadap para aktivis, kekerasan terhadap demonstran, dan komentar-komentar yang memancing amarah, Murad seolah menciptakan atmosfer ketakutan yang membuat mahasiswa gentar menyuarakan keluhan.
Satu per satu kasus muncul, seperti dugaan penculikan aktivis Sahrul Wajo, pemukulan mahasiswa Saiful, dan pernyataan brutal Murad yang seolah meremehkan hak mahasiswa untuk berbicara. Jika kita biarkan ini terus terjadi, apakah kita rela menukar demokrasi yang kita perjuangkan dengan rezim tangan besi yang antikritik?
Kasus Sahrul Wajo dan Saiful: Kebebasan Berpendapat atau Nyawa yang Terancam?
Kasus dugaan penculikan Sahrul Wajo menjadi salah satu cerita kelam dalam kepemimpinan Murad Ismail. Sahrul, seorang aktivis yang berani menentang kebijakan pemerintah melalui aksi protes, tiba-tiba dijemput paksa oleh orang yang tidak dikenal saat sedang duduk bersama teman-temannya.
Dugaan penculikan ini bukan sekadar tindakan kriminal, melainkan pesan dari rezim bahwa siapa pun yang berani menyuarakan kebenaran bisa diintimidasi begitu saja. Jika aktivis bisa diculik di depan umum setelah menyampaikan aspirasi, apakah kita masih memiliki jaminan kebebasan berpendapat? Penculikan ini adalah tamparan keras bagi mereka yang masih percaya bahwa kepemimpinan Murad Ismail melindungi kebebasan berpendapat.
Tidak berhenti di situ, kasus Saiful, mahasiswa yang mengalami kekerasan fisik saat berdemonstrasi, menunjukkan bahwa pemerintah tak segan-segan memperlakukan protes damai sebagai ancaman yang harus dibungkam. Saiful dipukul, diseret, dan diperlakukan seolah-olah kejahatannya adalah meminta keadilan di depan mata para pemimpin.
Kekerasan yang diterima Saiful bukan hanya peringatan bagi dirinya, tetapi ancaman bagi seluruh mahasiswa dan masyarakat Maluku yang ingin berbicara. Jika demonstrasi yang damai berujung pada kekerasan fisik, apakah kebebasan berpendapat di masa kepemimpinan Murad Ismail masih layak disebut sebagai hak ataukah sudah menjadi kutukan bagi mereka yang berani?
Pernyataan Murad yang Kontroversial: “Dipukul Sampai Tai Keluar dari Pantat”
Seorang gubernur seharusnya menjadi pengayom, tetapi pernyataan Murad yang menyebut “anak-anak yang demo dipukul sampai tai keluar dari pantat dan dibuang di laut” menunjukkan wajah sebenarnya dari kepemimpinannya. Dengan kalimat vulgar ini, Murad memperlihatkan bagaimana ia memandang mahasiswa yang menuntut keadilan.
Kata-kata kasar ini menebar ketakutan dan memperlihatkan sikap tak peduli terhadap penderitaan rakyat yang hanya meminta haknya. Pernyataan ini adalah ancaman terselubung: bahwa siapa pun yang berani melawan pemerintah harus siap menanggung perlakuan tak manusiawi. Pernyataan tersebut tidak hanya mencemarkan jabatan yang diembannya, tetapi juga merendahkan nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi yang seharusnya ia junjung tinggi.
Ucapan kasar ini menguatkan asumsi bahwa Murad tak segan menggunakan kekerasan sebagai alat untuk mengontrol rakyat. Dalam satu kalimat, Murad menunjukkan bahwa ia bukan hanya tidak peduli terhadap hak rakyat, tetapi juga siap menumpas siapa saja yang menentangnya. Apakah ini wajah kepemimpinan yang kita inginkan? Di mana suara kita sebagai mahasiswa, jika setiap kata bisa menjadi ancaman bagi keselamatan kita?
Provokasi Terbuka: Murad Menantang Mahasiswa untuk Berkelahi
Tak hanya dengan kata-kata, Murad menunjukkan niat represifnya dengan menantang mahasiswa yang kritis untuk berkelahi saat kunjungan ke Namlea. Tindakan ini memperlihatkan keengganannya untuk berdialog dan menegaskan bahwa ia melihat kritik sebagai ancaman yang harus dihancurkan, bukan suara yang harus didengar. Aksi ini mengingatkan kita pada taktik tirani yang memperlakukan perbedaan pendapat sebagai penghinaan pribadi, bukan sebagai aspirasi rakyat yang sah.
Tindakan Murad ini adalah penegasan bahwa di era pemerintahannya, rakyat tak lagi boleh menuntut haknya. Murad memilih kekerasan daripada percakapan, memilih perlawanan fisik daripada argumen, seolah-olah perbedaan pendapat bisa diselesaikan dengan adu otot. Dalam iklim demokrasi yang sehat, kritik adalah bagian dari pemerintahan yang baik, namun Murad seolah menempatkan dirinya sebagai penguasa absolut yang kebal dari kritik. Ia seolah berkata: “Jika kau berani melawan, kau akan berhadapan denganku.”
Ancaman Represi yang Lebih Luas: Intimidasi dan Pembungkaman Suara Rakyat
Di bawah kepemimpinan Murad, Maluku seolah menjadi kawasan yang beroperasi di bawah cengkeraman rezim represif. Banyak aktivis dan mahasiswa yang kini hidup dalam bayang-bayang ketakutan akan intimidasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ancaman kekerasan fisik yang terus terjadi semakin menekan kebebasan berpendapat yang seharusnya menjadi hak setiap orang. Para demonstran harus memilih: apakah mereka berani mengambil risiko berbicara atau memilih diam demi keselamatan. Ini bukan demokrasi, ini adalah tirani dengan wajah modern yang menghantui kebebasan berpendapat di wilayah yang seharusnya dijaga hak-haknya.
Atmosfer represif yang dibangun oleh Murad dan aparatnya menciptakan budaya ketakutan yang mencegah masyarakat untuk menuntut hak-haknya. Orang-orang yang ingin berbicara merasa tertekan, takut bahwa mereka akan diancam, diculik, atau bahkan dipukuli jika berani menuntut keadilan. Demokrasi telah dicabik-cabik di depan mata kita, sementara kita hanya bisa melihat kebebasan berpendapat dibungkam oleh kekuatan yang seharusnya melindungi kita.
Menuju Demokrasi yang Sesungguhnya: Saatnya Masyarakat Menolak Rezim Represif
Tindakan-tindakan Murad Ismail adalah gambaran dari rezim represif yang menyamarkan dirinya sebagai pemerintahan sah. Jika kita biarkan ini berlanjut, kita memberikan izin kepada setiap pemimpin untuk menginjak-injak kebebasan berpendapat dan memaksakan kekuasaannya dengan tangan besi. Ini adalah waktu bagi masyarakat Maluku untuk menyadari bahwa kebebasan berpendapat bukanlah hadiah dari penguasa—melainkan hak yang harus kita perjuangkan dan lindungi.
Jika kita tidak bersuara sekarang, kita mungkin menyaksikan kematian demokrasi secara perlahan-lahan. Setiap tindakan represif yang dibiarkan adalah satu langkah mundur dalam perjuangan kita untuk kebebasan. Jangan biarkan ketakutan membungkam kita, jangan biarkan rezim represif menindas suara rakyat langgeng. (**)