KILAS AMBON

Menyoal Sikap Kontraproduktif Wagub Maluku Tentang Sopi

Fahkri Asyathri, Pengamat Kebijakan Publik

Oleh: Fahri Asyathry, Pengamat Kebijakan Publik

AMBON,Kilasmaluku.Id–Saat Bupati Seram Bagian Timur (SBT) Fachri Husni Alkatiri mengalakkan sagu sebagai salah bentuk optimalisasi pendapatan daerah yg didalamnya memuat unsur pangan lokal, identitas, jati diri, ekonomi, membangun kemandirian dan ketahanan pangan dari komoditi lokal yang nyaris terlupakan ditengah banjirnya program intensifikasi lahan sawah oleh pemerintah pusat, program itu langsung didukung Gubernur Maluku dengan menetapkan Kabupaten Seram Bagian Timur sebagai Ikon Industri Sagu Nasional. Itu bentuk apresiasi Pemprov atas inovasi yang berhasil dibangun Bupati SBT dalam lima bulan kepemimpinannya.

Tetapi dalam saat yang sama Wakil Gubernur Maluku, Abdullah Vanath Maluku malah bicara optimalisasi pendapatan lewat sopi/minol dgn menyerempet ayat suci hingga menimbulkan polemik dan kegaduhan di hampir semua kalangan di Maluku baik kelompok Muslim maupun Nasrani mengajukan protes keras bahkan ada yang meresponnya lewat jalur hukum. Terakhir, sikap Wagub itu membuat Gubernur Maluku harus menahan malu sambil “mengangkat kedua tangan” untuk meminta maaf atas sikap Wakilnya itu.

Dalam konteks ini, sikap aktif Wakil Gubernur justeru kontraproduktif ; di satu sisi Bupati SBT hendak memartabatkan sagu dan menaikan taraf pendapatan petani sagu sekaligus melindungi mereka dari potensi eksploitasi lahan oleh investor dengan harga yang sangat murah, disisi lain Wagub justeru sibuk membangun isu legalisasi sopi/minol dengan dalih menekan angka kriminal dan pertimbangan ekonomi dengan tetap memabukkan orang & berkaca dari NTT yang sudah lebih dulu melegalkannya lewat Peraturan Daerah. Disini, NTT dijadikan role model atau daerah percontohan oleh Wagub sebagai basis argumentasinya.

Tetapi tahukah Wakil Gubernur berapa pendapatan cukai miras NTT setelah dilegalkan? Masih ingatkah Wagub soal data tingkat peminum minol (minuman alkohol) tertinggi ada di provinsi mana?
Yang lebih krusial lagi, lupakah Wagub bahwa Lampiran III dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang investasi miras telah dicabut oleh Presiden Joko Widodo karena adanya protes keras dan ragam pertimbangan dari berbagai elemen bangsa khususnya dari elemen keagamaan? Pencabutan lampiran Perpres tersebut juga memicu didesaknya DPR RI untuk kembali memfollow up pengesahan RUU LMB untuk disahkan setelah masuk dalam prolegnas pripritas sejak 2021.

Pertama, dari sisi ekonomi, pendapatan negara bila merujuk data Institut for Develompent of Economics and Finance bahwa dibukanya kran investasi miras tidak begitu berdampak besar pada perekonomian. Karena kontribusi cukai minuman beralkohol relatif kecil bila dibandingkan dengan sektor lain.

Kalau hanya punya dampak ke tenaga kerja maka sebenarnya sektor pertanian dan agro industri yang harus dipacu. Pendapatan cukai MMEA (Minuman Mengandung Metil Alcohol) selama ini tidak begitu berdampak pada kas negara dari empat provinsi yaitu Bali, Sulut, Papua dan NTT. Khusus untuk Nusa Tenggara Timur pendapatan cukai MMEA pada 2020 sebesar Rp. 667 juta, dan di Januari 2021 hanya senilai Rp 61,38 juta atau turun 90,80 persen dibandingkan posisi akhir 2020. Bahkan untuk Papua 2017-2020 tidak ada penerimaan (tentu karena berbagai faktor). Angka – angka pendapatan itu jauh tidak sebanding dengan angka pengeluaran yang harus dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi dampak miras.

Kedua, semangat Wakil Gubernur Vanath untuk melagalisasi sopi dengan pertimbangan sebagaimana diatas justeru tidak sejalan dengan semangat pemerintah pusat yang telah diimplementasikan lewat pencabutan lampiran 3 Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tersebut. Di samping itu, DPR RI pun telah menyiapkan RUU LMB.

Jadi, apa yang di kampanyekan oleh Wakil Gubernur Maluku sangat kontraproduktif dengan kebijakan pemerintah pusat. Rencana legalisasi sopi/minol pun dianggap sebagai solusi oleh sementara kalangan karena larangan agama dipandang tidak lagi manjur, maka sopi harus dilegalkan. Ini logical fallacy yang harus diralat; justru karena ayat suci dirasa tidak efektif untuk mengurangi angka konsumsi miras di mata para pelakunya, maka ayat konstitusi (Perda) harus hadir untuk membackup perintah ayat suci. Disitulah fungsi pemerintah.

Apalagi data Kemenkes menunjukkan bahwa provinsi Maluku menempati urutan keempat provinsi dengan tingkat konsumsi miras tertinggi di seluruh Indonesia. Yang jelas, mudharat atau dampak kerusakan yang ditimbulkan akibat miras jauh lebih besar ketimbang manfaatnya, sejak penurunan produktivitas, gangguan jantung, kanker, hipertensi hingga jutaan kematian tiap tahun santer diakibatkan oleh miras. Itu belum menghitung dampak konsumsinya dalam bentuk kecelakaan lalu lintas, KDRT dan kriminal lainnya. Cukai miras (MMEA) atau kerap dipertegas oleh kalangan anti miras dengan istilah “pajak dosa” – memang masuk dalam nomenklatur pendapatan negara – walau idealnya ia harus dilarang utamanya demi alasan kesehatan dan alasan etis. Itu pula yang menjadi basis kajian akademik oleh pemerintah pusat sehingga didoronglah RUU LMB di DPR.

Ketiga, salah satu sumber sopi adalah pohon enau. Pohon ini bisa melahirkan produk lain yang lebih bermanfaat dari sisi ekonomi kreatif dan sebagai solusi Pemerintah harus mengarahkan kecenderungan orang dari sopi ke produk alternatif lain dari jenis pohon yang sama. Program Bupati SBT untuk hilirisasi sagu sebagai salah satu solusi pengembangan ekonomi dan ketahanan pangan lokal mestinya yang harus dikampanyekan. Pohon sagu dan pohon enau atau sageru adalah jenis tanaman serumpun yang banyak tumbuh di Maluku.

Dari pohon ini pemerintah daerah mestinya mengembangkan sektor ekonomi kreatif dengan penciptaan produk baru. Jadi, memang rancu ketika Bupati SBT berfokus untuk pengembangan nilai manfaat sagu menjadi produk-produk yang berdaya saing, Wakil Gubernur justru berfokus pada pengembangan pohon enau untuk hanya menghasilkan sopi yang jelas memabukkan.

Bila dari pohon yang sama bisa dikembangkan gula merah dan atau produk-produk lain yang bisa menghasilkan pendapatan rakyat, mengapa harus sopi yang dimasifkan? Tentu saja ada pengecualian menyangkut dengan eksistensi sopi di dalam acara adat keagamaan tertentu. Bila sopi dipandang sebagai bagian dari ritus adat oleh sebagian daerah atau kelompok di Maluku, maka biarkan ia tetap tumbuh pada tempatnya sebagai warisan kekayaan budaya Maluku. Local wisdom itu jangan kemudian dieksploitasi oleh Pemerintah Provinsi Maluku untuk mencari keuntungan yang bisa berdampak lebih buruk secara sosial. Hanya karena kehadiran sopi dalam ritus adat diakui, apakah berarti mabuk-mabukan juga adalah harus dipandang sebagai kultur kita?? Ini yang harus dipikirkan ulang oleh Hendrik Lewerissa sebagai Gubernur.(**)

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Populer

To Top